Cerita Sex Dewasa Aku Di Perkosa Kakak Pacarku Terasa Nikmat Luar Biasa | Cerita Sex 2018
Cerita Sex Dewasa Aku Di Perkosa Kakak Pacarku |
Cerita Seks Perkosa - Siang itu HP ku berbunyi, dan suara nyaring dari sebelah sana memanggil.
“Dear, kamu ke rumahku duluan deh sana, saya masih meeting. Dari
pada kamu kena macet di jalan, mendingan jalan sekarang gih
sana.”
“Oke deh, saya menuju rumah kamu sekarang. Kamu meeting sampai
jam berapa?”
“Yah, sore sudah pulang deh, tunggu aja di rumah.”
Meluncurlah aku dengan motor Honda ke sebuah rumah di salah
satu kompleks di Jakarta. Sani memang kariernya sedang naik
daun, dan dia banyak melakukan meeting akhir-akhir ini. Aku
sih sudah punya posisi lumayan di kantor. Hanya saja,
kemacetan di kota ini begitu parah, jadi lebih baik beli motor
saja dari pada beli mobil. Sani pun tak keberatan mengarungi
pelosok-pelosok kota dengan motor bersamaku.
Kebetulan, pekerjaanku di sebuah biro iklan membuat aku bisa
pulang di tengah hari, tapi bisa juga sampai menginap di
kantor jika ada proyek yang harus digarap habis-habisan. Sani,
pacarku, mendapat fasilitas antar jemput dari kantornya. Jadi,
aku bisa tenang saja pergi ke rumahnya tanpa perlu
menjemputnya terlebih dulu.
Sesampai di rumahnya, pagar rumah masih tertutup walau tidak
terkunci. Aku mengetok pagar, dan keluarlah Mariana, kakak Sani,
untuk membuka pintu.
“Loh, enggak kerja?” tanyaku.
“Nggak, aku izin dari kantor mau ngurus paspor,” jawabnya
sambil membuka pintu pagarnya yang berbentuk rolling door
lebar-lebar agar motorku masuk ke dalam.
“Nyokap ke mana?” tanyaku lagi.
“Oh, dia lagi ke rumah temannya tuh, ngurusin arisan,” kata
Mariana, “Kamu mau duduk di mana Bobi? Di dalam nonton tv juga
boleh, atau kalau mau di teras ya enggak apa juga. Bentar yah,
saya ambilin minum.”
Setelah motor parkir di dalam pekarangan rumah, kututup pagar
rumahnya. Aku memang akrab dengan kakak Sani ini, umurnya
hanya sekitar dua tahun dari umurku. Yah, aku menunggu di
teras sajalah, canggung juga rasanya duduk nonton tv bersama
Mariana, apalagi dia sedang pakai celana pendek dan kaos oblong.
Setelah beberapa lama menunggu Sani di teras rumah, aku
celingukan juga tak tahu mau bikin apa. Iseng, aku melongok ke
ruang tamu, hendak melihat acara televisi. Wah, ternyata
mataku malah terpana pada paha yang putih mulus dengan kaki
menjulur ke depan. Kaki Mariana ternyata sangat mulus, kulitnya
putih menguning. Skorbet99.com – Master Judi Online Terpercaya dengan Minimal Deposit dan Withdraw Rp. 10.000,- [klik disini]
Mariana memang sedang menonton tv di lantai dengan kaki
berjelonjor ke depan. Kadang dia duduk bersila. Baju kaosnya
yang tipis khas kaos rumah menampakkan tali-tali BH yang bisa
kutebak berwarna putih. Aku hanya berani sekali-kali mengintip
dari pintu yang membatasi teras depan dengan ruang tamu,
setelah itu barulah ruang nonton tv. Kalau aku melongokkan
kepalaku semua, yah langsung terlihatlah wajahku.
Tapi rasanya ada keinginan untuk melihat dari dekat paha itu,
biar hanya sepintas. Aku berdiri.
“Ta, ada koran enggak yah,” kataku sambil berdiri memasuki
ruang tamu.
“Lihat aja di bawah meja,” katanya sambil lalu.next
Saat mencari-cari koran itulah kugunakan waktu untuk melihat
paha dan postur tubuhnya dari dekat. Ah, putih mulus semua.
Buah dada yang pas dengan tubuhnya. Tingginya sekitar 160 cm
dengan tubuh langsing terawat, dan buah dadanya kukuh melekat
di tubuh dengan pasnya.
“Aku ingin dada itu,” kataku membatin. Aku membayangkan Mariana
dalam keadaan telanjang. Ah, ‘adikku’ bergerak melawan arah
gravitasi.
“Heh! Kok kamu ngeliatin saya kayak gitu?! Saya bilangin Sani
lho!,” Mariana menghardik.
Dan aku hanya terbengong-bengong mendengar hardikannya. Aku
tak sanggup berucap walau hanya untuk membantah. Bibirku
membeku, malu, takut Mariana akan mengatakan ini semua ke Sani.
“Apa kamu melotot begitu, mau ngancem?! Hah!”
“Astaga, Mariana, kamu.. kamu salah sangka,” kataku tergagap.
Jawabanku yang penuh kegamangan itu malah membuat Mariana makin
naik pitam.
“Saya bilangin kamu ke Sani, pasti saya bilangin!” katanya
setengah berteriak. Tiba-tiba saja Mariana berubah menjadi
sangar. Kekalemannya seperti hilang dan barangkali dia merasa
harga dirinya dilecehkan. Perasaan yang wajar kupikir-pikir.
“Mariana, maaf, maaf. Benar-benar enggak sengaja saya. saya
enggak bermaksud apa-apa,” aku sedikit memohon.
“Ta, tolong dong, jangan bilang Sani, kan cuma ngeliatin
doang, itu juga enggak sengaja. Pas saya lagi mau ngambil
koran di bawah meja, baru saya liat elu,” kataku mengiba
sambil mendekatinya. Skorbet99.com adalah partner resmi dari Sbobet, IBCbet, 338A, CMD / 368bet,Tangkasnet, 88Tangkas,ayoo segera bergabunglah bersama kami disini..[klik disini]
Mariana malah tambah marah bercampur panik saat aku
mendekatinya.
“Kamu ngapain nyamperin saya?! Mau ngancem? Keluar kamu!,”
katanya garang. Situasi yang mencekam ini rupanya membuatku
secara tidak sengaja mendekatinya ke ruang tamu, dan itu malah
membuatnya panik.
“Duh, Ta, maaf banget nih. Saya enggak ada maksud apa-apa,
beneran,” kataku.
Namun, situasi telah berubah, Mariana malah menganggapku sedang
mengancamnya. Ia mendorong dadaku dengan keras. Aku kehilangan
keseimbangan, aku tak ingin terjatuh ke belakang, kuraih
tangannya yang masih tergapai saat mendorongku. Raihan tangan
kananku rupanya mencengkeram erat di pergelangan tangan
kirinya. Tubuhnya terbawa ke arahku tapi tak sampai terjatuh,
aku pun berhasil menjaga keseimbangan. Namun, keadaan makin
runyam.
“Eh! kamu kok malah tangkep tangan saya! Mau ngapain kamu?
Lepasin enggak!!,” kata Mariana.
Entah mengapa, tangan kananku tidak melepaskan tangan kirinya.
Mungkin aku belum sempat menyadari situasinya. Merasa
terancam, Mariana malah sekuat tenaga melayangkan tangan
kanannya ke arah mukaku, hendak menampar. Aku lebih cekatan.
Kutangkap tangan kanan itu, kedua tangannya sudah kupegang
tanpa sengaja. Kudorong dia dengan tubuhku ke arah sofa di
belakangnya, maksudku hanya berusaha untuk menenangkan dia
agar tak mengasariku lagi. Tak sengaja, aku justru menindih
tubuh halus itu.
Mariana terduduk di sofa, sementara aku terjerembab di atasnya.
Untung saja lututku masih mampu menahan pinggulku, namun
tanganku tak bisa menahan bagian atas tubuhku karena masih
mencengkeram dan menekan kedua tangannya ke sofa. Jadilah aku
menindihnya dengan mukaku menempel di pipinya. Tercium aroma
wangi dari wajahnya, dan tak tertahankan, sepersekian detik
bibirku mengecup pipinya dengan lembut.
Tak ayal, sepersekian detik itu pula Mariana meronta-ronta.
Mariana berteriak, “Lepasin! Lepasin!” dengan paraunya. Waduh,
runyam banget kalau terdengar tetangga. Yang aku lakukan hanya
refleks menutup mulutnya dengan tangan kananku. Mariana berusaha
vaginaik, namun tak bisa. Yang terdengar hanya, “Hmmm!” saja.
Namun, tangannya sebelah kiri yang terbebas dari cengkeramanku
justru bergerak liar, ingin menggapai wajahku.
Hah! Tak terpikir, posisiku ini benar-benar seperti berniat
memperkosa Mariana. Dan, Mariana sepertinya pantas untuk
diperkosa. Separuh tubuhnya telah kutindih. Dia terduduk di
sofa, aku di atasnya dengan posisi mendudukinya namun
berhadapan. Kakinya hanya bisa meronta namun tak akan bisa
mengusir tubuhku dari pinggangnya yang telah kududuki. Tangan
kanannya masih dalam kondisi tercengkeram dan ditekan ke sofa,
tangan kirinya hanya mampu menggapai-gapai wajahku tanpa bisa
mengenainya, mulutnya tersekap.
Tubuh yang putih itu dengan lehernya yang jenjang dan sedikit
muncul urat-urat karena usaha Mariana untuk vaginaik,
benar-benar membuatku dilanda nafsu tak kepalang. Aku berpikir
bagaimana memperkosanya tanpa harus melakukan berbagai
kekerasan seperti memukul atau merobek-robek bajunya. Dasar
otak keparat, diserang nafsu, dua tiga detik kemudian aku
mendapatkan caranya.
Tanpa diduga Mariana, secepat kilat kulepas cengkeraman tanganku
dari tangan dan mulutnya, namun belum sempat Mariana bereaksi,
kedua tanganku sudah mencengkeram erat lingkaran celana
pendeknya dari sisi kiri dan kanan, tubuhku meloncat mundur ke
belakang.
Kaki Mariana yang meronta-ronta terus ternyata mempermudah
usahaku, kutarik sekeras-kerasnya dan secepat-cepatnya celana
pendek itu beserta celana dalam pinknya. Karena kakinya
meronta terus, tak sengaja dia telah mengangkat pantatnya saat
aku meloncat mundur. Celana pendek dan celana dalam pink itu
pun lolos dengan mudahnya sampai melewat dengkul Mariana.
Astaga! Berhasil!
Mariana jadi setengah bugil. Satu dua detik Mariana pun sempat
terkejut dan terdiam melihat situasi ini. Kugunakan kelengahan
itu untuk meloloskan sekalian celana pendek dan celana
dalamnya dari kakinya, dan kulempar jauh-jauh. Mariana sadar,
dia hendak vaginaik dan meronta lagi, namun aku telah siap.
Kali ini kubekap lagi mulutnya, dan kususupkan tubuhku di
antara kakinya. Posisi kaki Mariana jadi menjepit tubuhku,
karena dia sudah tak bercelana, aku bisa melihat vaginanya
dengan kelentit yang cukup jelas. Jembutnya hanya menutupi
bagian atas vagina. Mariana ternyata rajin merawat alat
genitalnya.
Pekikan Mariana berhasil kutahan. Sambil kutekan kepalanya di
sandaran sofa, aku berbisik,
“Mariana, kamu sudah kayak gini, kalau kamu teriak-teriak dan
orang-orang dateng, percaya enggak orang-orang kalau kamu lagi
saya perkosa?”
Mariana tiba-tiba melemas. Dia menyadari keadaan yang saat ini
berbalik tak menguntungkan buatnya. Kemudian dia hanya
menangis terisak. Kubuka bekapanku di mulutnya, Mariana cuma
berujar sambil mengisak,
“Bobi, please… Jangan diapa-apain saya. Ampun, Di. saya
enggak akan bilang Sani. Beneran.”
Namun, keadaan sudah kepalang basah, syahwatku pun sudah di
ujung tanduk rasanya. Aku menjawabnya dengan berusaha mencium
bibirnya, namun dia memalingkan mukanya. Tangan kananku
langsung saja menelusup ke selangkangannya. Mariana tak bisa
mengelak.
Ketika tanganku menyentuh halus permukaan vaginanya, saat
itulah titik balik segalanya. Mariana seperti terhipnotis, tak
lagi bergerak, hanya menegang kaku, kemudian mendesis halus
tertahan. Dia pun pasti tak sengaja mendesah.
Seperti mendapat angin, aku permainkan jari tengah dan
telunjukku di vaginanya. Aku permainkan kelentitnya dengan
ujung-ujung jari tengahku. Mariana berusaha berontak, namun
setiap jariku bergerak dia mendesah. Desahannya makin sulit
ditutupi saat jari tengahku masuk untuk pertama kali ke dalam
vaginanya. Kukocokkan perlahan vaginanya dengan jari tengahku,
sambil kucoba untuk mencumbu lehernya.
“Jangan Bob,” pintanya, namun dia tetap mendesah, lalu
memejamkan mata, dan menengadahkan kepalanya ke langit-langit,
membuatku leluasa mencumbui lehernya. Dia tak meronta lagi,
tangannya hanya terkulai lemas. Sambil kukocok vaginanya dan
mencumbui lehernya, aku membuka resleting celanaku. “Adik”-ku
ini memang sudah menegang sempurna sedari tadi, namun tak
sempat kuperlakukan dengan selayaknya. Karena tubuhku telah
berada di antara kakinya, mudah bagiku untuk mengarahkan
penisku ke vaginanya.
Mariana sebetulnya masih dalam pergulatan batin. Dia tak bisa
mengelak terjangan-terjangan nafsunya saat vaginanya
dipermainkan, namun ia juga tak ingin kehilangan harga diri.
Jadilah dia sedikit meronta, menangis, namun juga
mendesah-desah tak karuan. Aku bisa membaca situasi ini karena
dia tetap berusaha memberontak, namun vaginanya malah makin
basah. Ini tanda dia tak mampu mengalahkan rangsangan.
Penisku mengarah ke vaginanya yang telah becek, saat kepala
penis bersentuhan dengan vagina, Mariana masih sempat berusaha
berkelit. Namun, itu semua sia-sia karena tanganku langsung
memegangi pinggulnya. Dan, kepala penisku pun masuk perlahan.
Vagina Mariana seperti berkontraksi. Mariana tersadar,
“Jangan…” teriaknya atau terdengar seperti rintihan.
Rasa hangat langsung menyusupi kepala penisku. Kutekan sedikit
lebih keras, Mariana sedikit menjerit, setengah penisku telah
masuk. Dan satu sentakan berikutnya, seluruh penisku telah ada
di dalam vaginanya. Mariana hanya memejamkan mata dan
menengadahkan muka saja. Ia sedang mengalami kenikmatan tiada
tara sekaligus perlawanan batin tak berujung. Kugoyangkan
perlahan pinggulku, penisku keluar masuk dengan lancarnya.
Terasa vagina Mariana mengencang beberapa saat lalu mengendur
lagi.
Tanganku mulai bergerilya ke arah buah dadanya. Mariana masih
mengenakan kaos rumah. Tak apa, toh tanganku bisa menyusup ke
dalam kaosnya dan menyelinap di balik BH dan mendapati
onggokan daging yang begitu kenyal dengan kulit yang terasa
begitu halus. Payudara Mariana begitu pas di tanganku, tidak
terlalu besar tapi tidak juga bisa dibilang kecil. Kuremas
perlahan, seirama dengan genjotan penisku di vaginanya. Mariana
hanya menoleh ke kanan dan ke kiri, tak mampu melakukan
perlawanan. Pinggulnya ternyata mulai mengikuti goyangan
pinggulku.
Aku buka kaos Mariana, kemudian BH-nya, Mariana menurut.
Pemandangan setelah itu begitu indah. Kulit Mariana putih
menguning langsat dengan payudara yang kencang dan lingkaran
di sekitar pentilnya berwarna merah jambu Pentil itu sendiri
berwarna merah kecokelatan. Tak menunggu lama, kubuka
kemejaku. Aktivitas ini kulakukan sambil tetap menggoyang
lembut pinggulku, membiarkan penisku merasai seluruh relung
vagina Mariana.
Sambil aku bergoyang, aku mengulum pentil di payudaranya
dengan lembut. Kumainkan pentil payudara sebelah kanannya
dengan lidahku, namun seluruh permukaan bibirku membentuk
huruf O dan melekat di payudaranya. Ini semua membuat Mariana
mendesah lepas, tak tertahan lagi.
Aku mulai mengencangkan goyanganku. Mariana mulai makin sering
menegang, dan mengeluarkan rintihan, “Ah… ah…”
Dalam goyangan yang begitu cepat dan intens, tiba-tiba kedua
tangan Mariana yang sedang mencengkeram jok kursi malah
menjambak kepalaku.”Aaahhh,” lenguhan panjang dan dalam keluar
dari mulut mungil Mariana. Ia sampai pada puncaknya. Lalu
tangan-tangan yang menjambak rambutku itu pun terkulai lemas
di pundakku. Aku makin intens menggoyang pinggulku. Kurasakan
penisku berdenyut makin keras dan sering.
Bibir Mariana yang tak bisa menutup karena menahan kenikmatan
itu pun kulumat, dan tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali
ini Mariana membalasnya dengan lumatan juga. Kami saling
berpagut mesra sambil bergoyang. Tangan kananku tetap berada
di payudaranya, meremas-remas, dan sesekali mempermainkan
putingnya.
Vagina Mariana kali ini cukup terasa mencengkeram penisku,
sementara denyut di penisku pun semakin hebat.
“Uhhh,” aku mengejang. Satu pelukan erat, dan sentakan keras,
penisku menghujam keras ke dalam vaginanya, mengiringi
muncratnya spermaku ke dalam liang rahimnya.
Tepat saat itu juga Mariana memelukku erat sekali, mengejang,
dan menjerit, “Aahhh”. Kemudian pelukannya melemas. Dia
mengalami ejakulasi untuk kedua kalinya, namun kali ini
berbarengan dengan ejakulasiku. Mariana terkulai di sofa, dan
aku pun tidur telentang di karpet. Aku telah memperkosanya.
Mariana awalnya tak terima, namun sisi sensitif yang
membangkitkan libidonya tak sengaja kudapatkan, yaitu usapan
di vaginanya.
Ternyata, dia sudah pernah bercinta dengan kekasihnya
terdahulu. Dia hanya tak menyangka, aku-pacar adiknya malah
menjadi orang kedua yang menyetubuhinya.
Grrreeekkk. Suara pagar dibuka. Sani datang! Astaga! aku dan
Mariana masih bugil di ruang tamu, dengan baju dan celana yang
terlempar berserakan.
“Dear, kamu ke rumahku duluan deh sana, saya masih meeting. Dari
pada kamu kena macet di jalan, mendingan jalan sekarang gih
sana.”
“Oke deh, saya menuju rumah kamu sekarang. Kamu meeting sampai
jam berapa?”
“Yah, sore sudah pulang deh, tunggu aja di rumah.”
Meluncurlah aku dengan motor Honda ke sebuah rumah di salah
satu kompleks di Jakarta. Sani memang kariernya sedang naik
daun, dan dia banyak melakukan meeting akhir-akhir ini. Aku
sih sudah punya posisi lumayan di kantor. Hanya saja,
kemacetan di kota ini begitu parah, jadi lebih baik beli motor
saja dari pada beli mobil. Sani pun tak keberatan mengarungi
pelosok-pelosok kota dengan motor bersamaku.
Kebetulan, pekerjaanku di sebuah biro iklan membuat aku bisa
pulang di tengah hari, tapi bisa juga sampai menginap di
kantor jika ada proyek yang harus digarap habis-habisan. Sani,
pacarku, mendapat fasilitas antar jemput dari kantornya. Jadi,
aku bisa tenang saja pergi ke rumahnya tanpa perlu
menjemputnya terlebih dulu.
Sesampai di rumahnya, pagar rumah masih tertutup walau tidak
terkunci. Aku mengetok pagar, dan keluarlah Mariana, kakak Sani,
untuk membuka pintu.
“Loh, enggak kerja?” tanyaku.
“Nggak, aku izin dari kantor mau ngurus paspor,” jawabnya
sambil membuka pintu pagarnya yang berbentuk rolling door
lebar-lebar agar motorku masuk ke dalam.
“Nyokap ke mana?” tanyaku lagi.
“Oh, dia lagi ke rumah temannya tuh, ngurusin arisan,” kata
Mariana, “Kamu mau duduk di mana Bobi? Di dalam nonton tv juga
boleh, atau kalau mau di teras ya enggak apa juga. Bentar yah,
saya ambilin minum.”
Setelah motor parkir di dalam pekarangan rumah, kututup pagar
rumahnya. Aku memang akrab dengan kakak Sani ini, umurnya
hanya sekitar dua tahun dari umurku. Yah, aku menunggu di
teras sajalah, canggung juga rasanya duduk nonton tv bersama
Mariana, apalagi dia sedang pakai celana pendek dan kaos oblong.
Setelah beberapa lama menunggu Sani di teras rumah, aku
celingukan juga tak tahu mau bikin apa. Iseng, aku melongok ke
ruang tamu, hendak melihat acara televisi. Wah, ternyata
mataku malah terpana pada paha yang putih mulus dengan kaki
menjulur ke depan. Kaki Mariana ternyata sangat mulus, kulitnya
putih menguning. Skorbet99.com – Master Judi Online Terpercaya dengan Minimal Deposit dan Withdraw Rp. 10.000,- [klik disini]
Mariana memang sedang menonton tv di lantai dengan kaki
berjelonjor ke depan. Kadang dia duduk bersila. Baju kaosnya
yang tipis khas kaos rumah menampakkan tali-tali BH yang bisa
kutebak berwarna putih. Aku hanya berani sekali-kali mengintip
dari pintu yang membatasi teras depan dengan ruang tamu,
setelah itu barulah ruang nonton tv. Kalau aku melongokkan
kepalaku semua, yah langsung terlihatlah wajahku.
Tapi rasanya ada keinginan untuk melihat dari dekat paha itu,
biar hanya sepintas. Aku berdiri.
“Ta, ada koran enggak yah,” kataku sambil berdiri memasuki
ruang tamu.
“Lihat aja di bawah meja,” katanya sambil lalu.next
Saat mencari-cari koran itulah kugunakan waktu untuk melihat
paha dan postur tubuhnya dari dekat. Ah, putih mulus semua.
Buah dada yang pas dengan tubuhnya. Tingginya sekitar 160 cm
dengan tubuh langsing terawat, dan buah dadanya kukuh melekat
di tubuh dengan pasnya.
“Aku ingin dada itu,” kataku membatin. Aku membayangkan Mariana
dalam keadaan telanjang. Ah, ‘adikku’ bergerak melawan arah
gravitasi.
“Heh! Kok kamu ngeliatin saya kayak gitu?! Saya bilangin Sani
lho!,” Mariana menghardik.
Dan aku hanya terbengong-bengong mendengar hardikannya. Aku
tak sanggup berucap walau hanya untuk membantah. Bibirku
membeku, malu, takut Mariana akan mengatakan ini semua ke Sani.
“Apa kamu melotot begitu, mau ngancem?! Hah!”
“Astaga, Mariana, kamu.. kamu salah sangka,” kataku tergagap.
Jawabanku yang penuh kegamangan itu malah membuat Mariana makin
naik pitam.
“Saya bilangin kamu ke Sani, pasti saya bilangin!” katanya
setengah berteriak. Tiba-tiba saja Mariana berubah menjadi
sangar. Kekalemannya seperti hilang dan barangkali dia merasa
harga dirinya dilecehkan. Perasaan yang wajar kupikir-pikir.
“Mariana, maaf, maaf. Benar-benar enggak sengaja saya. saya
enggak bermaksud apa-apa,” aku sedikit memohon.
“Ta, tolong dong, jangan bilang Sani, kan cuma ngeliatin
doang, itu juga enggak sengaja. Pas saya lagi mau ngambil
koran di bawah meja, baru saya liat elu,” kataku mengiba
sambil mendekatinya. Skorbet99.com adalah partner resmi dari Sbobet, IBCbet, 338A, CMD / 368bet,Tangkasnet, 88Tangkas,ayoo segera bergabunglah bersama kami disini..[klik disini]
Mariana malah tambah marah bercampur panik saat aku
mendekatinya.
“Kamu ngapain nyamperin saya?! Mau ngancem? Keluar kamu!,”
katanya garang. Situasi yang mencekam ini rupanya membuatku
secara tidak sengaja mendekatinya ke ruang tamu, dan itu malah
membuatnya panik.
“Duh, Ta, maaf banget nih. Saya enggak ada maksud apa-apa,
beneran,” kataku.
Namun, situasi telah berubah, Mariana malah menganggapku sedang
mengancamnya. Ia mendorong dadaku dengan keras. Aku kehilangan
keseimbangan, aku tak ingin terjatuh ke belakang, kuraih
tangannya yang masih tergapai saat mendorongku. Raihan tangan
kananku rupanya mencengkeram erat di pergelangan tangan
kirinya. Tubuhnya terbawa ke arahku tapi tak sampai terjatuh,
aku pun berhasil menjaga keseimbangan. Namun, keadaan makin
runyam.
“Eh! kamu kok malah tangkep tangan saya! Mau ngapain kamu?
Lepasin enggak!!,” kata Mariana.
Entah mengapa, tangan kananku tidak melepaskan tangan kirinya.
Mungkin aku belum sempat menyadari situasinya. Merasa
terancam, Mariana malah sekuat tenaga melayangkan tangan
kanannya ke arah mukaku, hendak menampar. Aku lebih cekatan.
Kutangkap tangan kanan itu, kedua tangannya sudah kupegang
tanpa sengaja. Kudorong dia dengan tubuhku ke arah sofa di
belakangnya, maksudku hanya berusaha untuk menenangkan dia
agar tak mengasariku lagi. Tak sengaja, aku justru menindih
tubuh halus itu.
Mariana terduduk di sofa, sementara aku terjerembab di atasnya.
Untung saja lututku masih mampu menahan pinggulku, namun
tanganku tak bisa menahan bagian atas tubuhku karena masih
mencengkeram dan menekan kedua tangannya ke sofa. Jadilah aku
menindihnya dengan mukaku menempel di pipinya. Tercium aroma
wangi dari wajahnya, dan tak tertahankan, sepersekian detik
bibirku mengecup pipinya dengan lembut.
Tak ayal, sepersekian detik itu pula Mariana meronta-ronta.
Mariana berteriak, “Lepasin! Lepasin!” dengan paraunya. Waduh,
runyam banget kalau terdengar tetangga. Yang aku lakukan hanya
refleks menutup mulutnya dengan tangan kananku. Mariana berusaha
vaginaik, namun tak bisa. Yang terdengar hanya, “Hmmm!” saja.
Namun, tangannya sebelah kiri yang terbebas dari cengkeramanku
justru bergerak liar, ingin menggapai wajahku.
Hah! Tak terpikir, posisiku ini benar-benar seperti berniat
memperkosa Mariana. Dan, Mariana sepertinya pantas untuk
diperkosa. Separuh tubuhnya telah kutindih. Dia terduduk di
sofa, aku di atasnya dengan posisi mendudukinya namun
berhadapan. Kakinya hanya bisa meronta namun tak akan bisa
mengusir tubuhku dari pinggangnya yang telah kududuki. Tangan
kanannya masih dalam kondisi tercengkeram dan ditekan ke sofa,
tangan kirinya hanya mampu menggapai-gapai wajahku tanpa bisa
mengenainya, mulutnya tersekap.
Tubuh yang putih itu dengan lehernya yang jenjang dan sedikit
muncul urat-urat karena usaha Mariana untuk vaginaik,
benar-benar membuatku dilanda nafsu tak kepalang. Aku berpikir
bagaimana memperkosanya tanpa harus melakukan berbagai
kekerasan seperti memukul atau merobek-robek bajunya. Dasar
otak keparat, diserang nafsu, dua tiga detik kemudian aku
mendapatkan caranya.
Tanpa diduga Mariana, secepat kilat kulepas cengkeraman tanganku
dari tangan dan mulutnya, namun belum sempat Mariana bereaksi,
kedua tanganku sudah mencengkeram erat lingkaran celana
pendeknya dari sisi kiri dan kanan, tubuhku meloncat mundur ke
belakang.
Kaki Mariana yang meronta-ronta terus ternyata mempermudah
usahaku, kutarik sekeras-kerasnya dan secepat-cepatnya celana
pendek itu beserta celana dalam pinknya. Karena kakinya
meronta terus, tak sengaja dia telah mengangkat pantatnya saat
aku meloncat mundur. Celana pendek dan celana dalam pink itu
pun lolos dengan mudahnya sampai melewat dengkul Mariana.
Astaga! Berhasil!
Mariana jadi setengah bugil. Satu dua detik Mariana pun sempat
terkejut dan terdiam melihat situasi ini. Kugunakan kelengahan
itu untuk meloloskan sekalian celana pendek dan celana
dalamnya dari kakinya, dan kulempar jauh-jauh. Mariana sadar,
dia hendak vaginaik dan meronta lagi, namun aku telah siap.
Kali ini kubekap lagi mulutnya, dan kususupkan tubuhku di
antara kakinya. Posisi kaki Mariana jadi menjepit tubuhku,
karena dia sudah tak bercelana, aku bisa melihat vaginanya
dengan kelentit yang cukup jelas. Jembutnya hanya menutupi
bagian atas vagina. Mariana ternyata rajin merawat alat
genitalnya.
Pekikan Mariana berhasil kutahan. Sambil kutekan kepalanya di
sandaran sofa, aku berbisik,
“Mariana, kamu sudah kayak gini, kalau kamu teriak-teriak dan
orang-orang dateng, percaya enggak orang-orang kalau kamu lagi
saya perkosa?”
Mariana tiba-tiba melemas. Dia menyadari keadaan yang saat ini
berbalik tak menguntungkan buatnya. Kemudian dia hanya
menangis terisak. Kubuka bekapanku di mulutnya, Mariana cuma
berujar sambil mengisak,
“Bobi, please… Jangan diapa-apain saya. Ampun, Di. saya
enggak akan bilang Sani. Beneran.”
Namun, keadaan sudah kepalang basah, syahwatku pun sudah di
ujung tanduk rasanya. Aku menjawabnya dengan berusaha mencium
bibirnya, namun dia memalingkan mukanya. Tangan kananku
langsung saja menelusup ke selangkangannya. Mariana tak bisa
mengelak.
Ketika tanganku menyentuh halus permukaan vaginanya, saat
itulah titik balik segalanya. Mariana seperti terhipnotis, tak
lagi bergerak, hanya menegang kaku, kemudian mendesis halus
tertahan. Dia pun pasti tak sengaja mendesah.
Seperti mendapat angin, aku permainkan jari tengah dan
telunjukku di vaginanya. Aku permainkan kelentitnya dengan
ujung-ujung jari tengahku. Mariana berusaha berontak, namun
setiap jariku bergerak dia mendesah. Desahannya makin sulit
ditutupi saat jari tengahku masuk untuk pertama kali ke dalam
vaginanya. Kukocokkan perlahan vaginanya dengan jari tengahku,
sambil kucoba untuk mencumbu lehernya.
“Jangan Bob,” pintanya, namun dia tetap mendesah, lalu
memejamkan mata, dan menengadahkan kepalanya ke langit-langit,
membuatku leluasa mencumbui lehernya. Dia tak meronta lagi,
tangannya hanya terkulai lemas. Sambil kukocok vaginanya dan
mencumbui lehernya, aku membuka resleting celanaku. “Adik”-ku
ini memang sudah menegang sempurna sedari tadi, namun tak
sempat kuperlakukan dengan selayaknya. Karena tubuhku telah
berada di antara kakinya, mudah bagiku untuk mengarahkan
penisku ke vaginanya.
Mariana sebetulnya masih dalam pergulatan batin. Dia tak bisa
mengelak terjangan-terjangan nafsunya saat vaginanya
dipermainkan, namun ia juga tak ingin kehilangan harga diri.
Jadilah dia sedikit meronta, menangis, namun juga
mendesah-desah tak karuan. Aku bisa membaca situasi ini karena
dia tetap berusaha memberontak, namun vaginanya malah makin
basah. Ini tanda dia tak mampu mengalahkan rangsangan.
Penisku mengarah ke vaginanya yang telah becek, saat kepala
penis bersentuhan dengan vagina, Mariana masih sempat berusaha
berkelit. Namun, itu semua sia-sia karena tanganku langsung
memegangi pinggulnya. Dan, kepala penisku pun masuk perlahan.
Vagina Mariana seperti berkontraksi. Mariana tersadar,
“Jangan…” teriaknya atau terdengar seperti rintihan.
Rasa hangat langsung menyusupi kepala penisku. Kutekan sedikit
lebih keras, Mariana sedikit menjerit, setengah penisku telah
masuk. Dan satu sentakan berikutnya, seluruh penisku telah ada
di dalam vaginanya. Mariana hanya memejamkan mata dan
menengadahkan muka saja. Ia sedang mengalami kenikmatan tiada
tara sekaligus perlawanan batin tak berujung. Kugoyangkan
perlahan pinggulku, penisku keluar masuk dengan lancarnya.
Terasa vagina Mariana mengencang beberapa saat lalu mengendur
lagi.
Tanganku mulai bergerilya ke arah buah dadanya. Mariana masih
mengenakan kaos rumah. Tak apa, toh tanganku bisa menyusup ke
dalam kaosnya dan menyelinap di balik BH dan mendapati
onggokan daging yang begitu kenyal dengan kulit yang terasa
begitu halus. Payudara Mariana begitu pas di tanganku, tidak
terlalu besar tapi tidak juga bisa dibilang kecil. Kuremas
perlahan, seirama dengan genjotan penisku di vaginanya. Mariana
hanya menoleh ke kanan dan ke kiri, tak mampu melakukan
perlawanan. Pinggulnya ternyata mulai mengikuti goyangan
pinggulku.
Aku buka kaos Mariana, kemudian BH-nya, Mariana menurut.
Pemandangan setelah itu begitu indah. Kulit Mariana putih
menguning langsat dengan payudara yang kencang dan lingkaran
di sekitar pentilnya berwarna merah jambu Pentil itu sendiri
berwarna merah kecokelatan. Tak menunggu lama, kubuka
kemejaku. Aktivitas ini kulakukan sambil tetap menggoyang
lembut pinggulku, membiarkan penisku merasai seluruh relung
vagina Mariana.
Sambil aku bergoyang, aku mengulum pentil di payudaranya
dengan lembut. Kumainkan pentil payudara sebelah kanannya
dengan lidahku, namun seluruh permukaan bibirku membentuk
huruf O dan melekat di payudaranya. Ini semua membuat Mariana
mendesah lepas, tak tertahan lagi.
Aku mulai mengencangkan goyanganku. Mariana mulai makin sering
menegang, dan mengeluarkan rintihan, “Ah… ah…”
Dalam goyangan yang begitu cepat dan intens, tiba-tiba kedua
tangan Mariana yang sedang mencengkeram jok kursi malah
menjambak kepalaku.”Aaahhh,” lenguhan panjang dan dalam keluar
dari mulut mungil Mariana. Ia sampai pada puncaknya. Lalu
tangan-tangan yang menjambak rambutku itu pun terkulai lemas
di pundakku. Aku makin intens menggoyang pinggulku. Kurasakan
penisku berdenyut makin keras dan sering.
Bibir Mariana yang tak bisa menutup karena menahan kenikmatan
itu pun kulumat, dan tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali
ini Mariana membalasnya dengan lumatan juga. Kami saling
berpagut mesra sambil bergoyang. Tangan kananku tetap berada
di payudaranya, meremas-remas, dan sesekali mempermainkan
putingnya.
Vagina Mariana kali ini cukup terasa mencengkeram penisku,
sementara denyut di penisku pun semakin hebat.
“Uhhh,” aku mengejang. Satu pelukan erat, dan sentakan keras,
penisku menghujam keras ke dalam vaginanya, mengiringi
muncratnya spermaku ke dalam liang rahimnya.
Tepat saat itu juga Mariana memelukku erat sekali, mengejang,
dan menjerit, “Aahhh”. Kemudian pelukannya melemas. Dia
mengalami ejakulasi untuk kedua kalinya, namun kali ini
berbarengan dengan ejakulasiku. Mariana terkulai di sofa, dan
aku pun tidur telentang di karpet. Aku telah memperkosanya.
Mariana awalnya tak terima, namun sisi sensitif yang
membangkitkan libidonya tak sengaja kudapatkan, yaitu usapan
di vaginanya.
Ternyata, dia sudah pernah bercinta dengan kekasihnya
terdahulu. Dia hanya tak menyangka, aku-pacar adiknya malah
menjadi orang kedua yang menyetubuhinya.
Grrreeekkk. Suara pagar dibuka. Sani datang! Astaga! aku dan
Mariana masih bugil di ruang tamu, dengan baju dan celana yang
terlempar berserakan.
Demikianlah Artikel Cerita Sex Dewasa Aku Di Perkosa Kakak Pacarku Terasa Nikmat Luar Biasa
Sekian Kisah seks Cerita Sex Dewasa Aku Di Perkosa Kakak Pacarku Terasa Nikmat Luar Biasa, mudah-mudahan bisa menghilangkan stres untuk sobat semua. baiklah, sekian postingan Cerita Sex kali ini.
Terimakasih sobat sudah membaca kisah Cerita Sex Dewasa Aku Di Perkosa Kakak Pacarku Terasa Nikmat Luar Biasa dan artikel ini url permalinknya adalah https://grahakitasex.blogspot.com/2016/04/cerita-dewasa-aku-di-perkosa-kakak-pacar.html Semoga artikel ini bisa menghibur. Cerita Seks ABG, Cerita Seks Abnormal, Cerita Seks Artis, Cerita Seks Bersambung, Cerita Seks Daun Muda, Cerita Seks Janda, Cerita seks Jilbab, Cerita Seks Karyawan, Cerita Seks Pelajar, Cerita Seks Pembantu, Cerita Seks Perawan, Cerita Seks Perkosaan, Cerita Seks Sedarah, Cerita Seks Selingkuh, Cerita Seks Sesama Jenis, Cerita Seks Tante Girang, Cerita Seks Spg, Cerita Seks Sekretaris, Cerita Seks Threesome, Cerita Seks Gigolo, Cerita Seks Guru, Cerita Seks Lesbi, Cerita Seks Mahasiswi, Cerita Seks Paruh Baya, Cerita Seks Pribadi, Cerita Seks PSK, Cerita Seks Sahabat, Cerita Seks Tukar Pasangan