Cerita Sex Dewasa Ngentot Dengan Istri Orang di Rantau | Cerita Sex 2018
Cerita Sex Dewasa - Setelah aku menikah dengan seorang wanita pilihan orang tuaku, aku mencoba hidup mandiri bersama istri sebagai bentuk rasa tanggungjawab aku sebagai suami dan kepala rumah tangga, meskipun rasa cintaku pada istriku tersebut belum mendalam, namun tetap aku coba menerima kenyataan ini siapa tahu di kemudian hari kami bisa saling mencintai secara penuh, lagi pula memang aku belum pernah sama sekali jatuh cinta pada wanita manapun sebelumnya.
Kami menjajal mengadu nasib di kota Kabupatenku dengan mengontrak rumah yang sangat sederhana. Beberapa bidang usaha aku coba tekuni agar dapat menanggulangi keperluan hidup kami sehari-hari, namun hingga kami mempunyai 3 orang anak, nasib kami tetap belum banyak berubah. Kami masih hidup pas-pasan dan bahkan harapanku semula untuk mempertebal kecintaanku terhadap istriku malah justru semakin merosot saja. Untung saja, aku orangnya pemalu dan sedikit mampu bersabar serta terbiasa dalam penderitaan, sehingga perasaanku itu tidak pernah diketahui oleh siapapun termasuk kedua orangtua dan saudara-saudaraku.
Entah pengaruh setan dari mana, suatu waktu tepatnya Bulan Oktober 2003 aku sempatkan diri berkunjung ke rumah teman lamaku sewaktu kami sama-sama di SMA dulu. Sebut saja namanya Azis. Dia baru saja pulang dari Kalimantan bersama dengan istrinya, yang belakangan aku ketahui kalau istrinya itu adalah anak majikannya sewaktu dia bekerja di salah satu perusahaan swasta di sana. Mereka juga melangsungkan perkawinan bukan atas dasar saling mencintai, melainkan atas dasar jasa dan balas budi.
Sekitar pukul 17.00 sore, aku sudah tiba di rumah Azis dengan naik ojek yang jaraknya sekitar 1 km dari rumah kontrakan kami. Merekapun masih tinggal di rumah kontrakan, namun agak besar dibanding rumah yang kami kontrak. Maklum mereka sedikit membawa modal dengan harapan membuka usaha baru di kota Kabupaten kami. Setelah mengamati tanda-tanda yang telah diberitahukan Azis ketika kami ketemu di pasar sentral kota kami, aku yakin tidak salah lagi, lalu aku masuk mendekati pintu rumah itu, ternyata dalam keadaan tertutup.
"Dog.. Dog.. Dog.. Permisi ada orang di rumah" kalimat penghormatan yang aku ucapkan selama 3 kali berturut-turut sambil mengetuk-ngetuk pintunya, namun tetap tidak ada jawaban dari dalam. aku lalu mencoba mendorong dari luar, ternyata pintunya terkunci dari dalam, sehingga aku yakin pasti ada orang di dalam rumah itu. Hanya saja aku masih ragu apakah rumah yang aku ketuk pintunya itu betul adalah rumah Azis atau bukan. aku tetap berusaha untuk memastikannya. Setelah duduk sejenak di atas kursi yang ada di depan pintu, aku coba lagi ketuk-ketuk pintunya, namun tetap tidak ada tanda-tanda jawaban dari dalam. Akhirnya aku putuskan untuk mencoba mengintip dari samping rumah. Melalui sela-sela jendela di samping rumahnya itu, aku sekilas melihat ada kilatan cahaya dalam ruangan tamu, tapi aku belum mengetahui dari mana sumber kilatan cahaya itu. aku lalu bergeser ke jendela yang satunya dan ternyata aku sempat menyaksikan sepotong tubuh tergeletak tanpa busana dari sebatas pinggul sampai ujung kaki. Entah potongan tubuh laki-laki atau wanita, tapi tampak putih mulus seperti kulit wanita.
Dalam keadaan biji mataku tetap kujepitkan pada sela jendela itu untuk melihat lebih jelas lagi keadaan dalam rumah itu, dibenak aku muncul tanda tanya apa itu tubuh istrinya Azis atau Azis sendiri atau orang lain. Apa orang itu tertidur pula sehingga tersingkap busananya atau memang sengaja telanjang bulat. Apa ia sedang menyaksikan acara TV atau sedang memutar VCD porno, sebab sedikit terdengar ada suara TV seolah film yang diputar. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang selalu mengganggu pikiranku sampai akhirnya aku kembali ke depan pintu semula dan mencoba mengetuknya kembali. Namun baru saja sekali aku ketuk, pintunya tiba-tiba terbuka lebar, sehingga aku sedikit kaget dan lebih kaget lagi setelah menyaksikan bahwa yang berdiri di depan pintu adalah seorang wanita muda dan cantik dengan pakaian sedikit terbuka karena tubuhnya hanya ditutupi kain sarung. Itupun hanya bagian bawahnya saja.
"Selamat siang," kembali aku ulangi kalimat penghormatan itu.
"Ya, siang," jawabnya sambil menatap wajah aku seolah malu, takut dan kaget.
"Dari mana Pak dan cari siapa," tanya wanita itu.
"Maaf dik, numpang tanya, apa betul ini rumah Azis," tanya aku.
"Betul sekali pak, dari mana yah?" tanya wanita itu lemah lembut.
"aku tinggal tidak jauh dari sini dik, aku ingin ketemu Azis. Beliau adalah teman lama aku sewaktu kami sama-sama duduk di SMA dulu," lanjut aku sambil menyodorkan tangan aku untuk menyalaminya. Wanita itu mebalasnya dan tangannya terasa lembut sekali namun sedikit hangat.
"Oh, yah, syukur kalau begitu. Ternyata ia punya teman lama di sini dan ia tak pernah ceritakan padaku," ucapannya sambil mempersilahkanku masuk. akupun langsung duduk di atas kursi plastik yang ada di ruang tamunya sambil memperhatikan keadaan dalam rumah itu, termasuk letak tempat tidur dan TVnya guna mencocokkan dugaanku sewaktu mengintip tadi
Setelah aku duduk, aku berniat menanyakan hubungannya dengan Azis, tapi ia nampak buru-buru masuk ke dalam, entah ia mau berpakaian atau mengambil suatu hidangan. Hanya berselang beberapa saat, wanita itu sudah keluar kembali dalam keadaan berpakaian setelah tadinya tidak memakai baju, bahkan ia membawa secangkir kopi dan kue lalu diletakkan di atas meja lalu mempersilahkanku mencicipinya sambil tersenyum.
"Maaf dik, kalau boleh aku tanya, apa adik ini saudara dengan Azis?" tanyaku penuh kekhawatiran kalau-kalau ia tersinggung, meskipun aku sejak tadi menduga kalau wanita itu adalah istri Azis.
"aku kebetulan istrinya pak. Sejak 3 tahun lalu aku melangsungkan pernikahan di Kalimantan, namun Tuhan belum mengaruniai seorang anak," jawabnya dengan jujur, bahkan sempat ia cerita panjang lebar mengenai latar belakang perkawinannya, asal usulnya dan tujuannya ke Kota ini.
Setelah aku menyimak ulasannya mengenai dirinya dan kehidupannya bersama Azis, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa wanita itu adalah suku di Kalimantan yang asal usul keturunannya juga berasal dari suku di Sulawesi. Ia kawin dengan Azis atas dasar jasa-jasa dan budi baik mereka tanpa didasari rasa cinta dan kasih akung yang mendalam, seperti halnya yang menimpa keluarga aku. Ia tetap berusaha dan berjuang untuk menggali nilai-nilai cinta yang ada pada mereka berdua siapa tahu kelak bisa dibangun. Anehnya, meskipun kami baru ketemu, namun ia seolah ingin membeberkan segala keadaan hidup yang dialaminya bersama suami selama ini, bahkan terkesan kami akrab sekali, saling menukar pengalaman rahasia rumah tangga tanpa ada yang kami tutup-tupi. Lebih heran lagi, selaku orang pendiam dan kurang pergaulan, aku justru seolah menemukan diriku yang sebenarnya di rumah itu. Karena senang, bahagia dan asyiknya perbincangan kami berdua, sampai-sampai aku hampir lupa menanyakan ke mana suaminya saat ini. Setelah kami saling memahami kepribadian, maka akhirnya akupun menanyakan Azis (suaminya itu).
"Oh yah, hampir lupa, ke mana Azis sekarang ini, kok dari tadi tidak kelihatan?" tanyaku sambil menyelidiki semua sudut rumah itu.
"Kebetulan ia pulang kampung untuk mengambil beras dari hasil panen orangtuanya tadi pagi, tapi katanya ia tidak bermalam kok, mungkin sebentar lagi ia datang. Tunggu saja sebentar," jawabnya seolah tidak menghendaki aku pulang dengan cepat hanya karena Azis tidak di rumah.
"Kalau ke kampung biasanya jam berapa tiba di sini," tanyaku lebih lanjut.
"Sekitar jam 8.00 atau 9.00 malam," jawabnya sambil menoleh ke jam dinding yang tergantung dalam ruangan itu. Padahal saat ini tanpa terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 7.00 malam.
Tak lama setelah itu, ia nampaknya buru-buru masuk ke ruang dapur, mungkin ia mau menyiapkan makan malam, tapi aku teriak dari luar kalau aku baru saja makan di rumah dan melarangnya ia repot-repot menyiapkan makan malam. Tapi ia tetap menyalakan kompornya lalu memasak seolah tak menginginkan aku kembali dengan cepat. Tak lama sesudah itu, iapun kembali duduk di depan aku melanjutkan perbincangannya. akupun tak kehabisan bahan untuk menemaninya. Mulai dari soal-soal pengalaman kami di kampung sewaktu kecil hingga soal rumah tangga kami masing-masing.
Karena nampaknya kami saling terbuka, maka akupun berani menanyakan tentang apa yang dikerjakannya tadi, sampai lama sekali baru dibukakan pintu tanpa aku beritahu kalau aku mengintipnya tadi dari selah jendela. Kadang ia menatapku lalu tersenyum seolah ada sesuatu berita gembira yang ingin disampaikan padaku.
"Jadi bapak ini lama mengetuk pintu dan menunggu di luar tadi?" tanyanya sambil tertawa.
"Sekitar 30 menit barangkali, bahkan hampir aku pulang, tapi untung aku coba kembali mengetuk pintunya dengan keras," jawabku terus terang.
"Ha.. Ha.. Ha.. aku ketiduran sewaktu nonton acara TV tadi," katanya dengan jujur sambil tertawa terbahak-bahak.
"Tapi bapak tidak sampai mengintip di samping rumah kan? Maklum kalau aku tertidur biasanya terbuka pakaianku tanpa terasa," tanyanya seolah mencurigaiku tadi. Dalam hati aku jangan-jangan ia sempat melihat dan merasa diintip tadi, tapi aku tidak boleh bertingkah yang mencurigakan.
"Ti.. Ti.. Dak mungkin aku lakukan itu dik, tapi emangnya kalau aku ngintip kenapa?" kataku terbata-bata, maklum aku tidak biasa bohong.
"Tidak masalah, cuma itu tadi, aku kalau tidur jarang pakai busana, terasa panas. Tapi perasaan aku mengatakan kalau ada orang tadi yang mengintipku lewat jendela sewaktu aku tidur. Makanya aku terbangun bersamaan dengan ketukan pintu bapak tadi," ulasnya curiga namun tetap ia ketawa-ketawa sambil memandangiku.
"M.. Mmaaf dik, sejujurnya aku sempat mengintip lewat sela jendela tadi berhubung aku terlalu lama mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban. Jadi aku mengintip hanya untuk memastikan apa ada atau tidak ada orang di dalam tadi. aku tidak punya maksud apa-apa," kataku dengan jujur, siapa tahu ia betul melihatku tadi, aku bisa dikatakan pembohong.
"Jadi apa yang bapak lihat tadi sewaktu mengintip ke dalam? Apa bapak sempat melihatku di atas tempat tidur dengan telanjang bulat?" tanyanya penuh selidik, meskipun ia masih tetap senyum-senyum.
"aku tidak sempat melihat apa-apa di dalam kecuali hanya kilatan cahaya TV dan sepotong kaki," tegasku sekali lagi dengan terus terang.
"Tidak apa-apa, aku percaya ucapan bapak saja. Lagi pula sekiranya bapak melihatku dalam keadaan tanpa busana, bapak pasti tidak heran, dan bukan soal baru bagi bapak, karena apa yang ada dalam tubuh aku tentu sama dengan milik istri bapak, yah khan?" ulasnya penuh canda. Lalu ia berlari kecil masuk ke ruang dapur untuk memastikan apa nasi yang dimasaknya sudah matang atau belum.
Kami menjajal mengadu nasib di kota Kabupatenku dengan mengontrak rumah yang sangat sederhana. Beberapa bidang usaha aku coba tekuni agar dapat menanggulangi keperluan hidup kami sehari-hari, namun hingga kami mempunyai 3 orang anak, nasib kami tetap belum banyak berubah. Kami masih hidup pas-pasan dan bahkan harapanku semula untuk mempertebal kecintaanku terhadap istriku malah justru semakin merosot saja. Untung saja, aku orangnya pemalu dan sedikit mampu bersabar serta terbiasa dalam penderitaan, sehingga perasaanku itu tidak pernah diketahui oleh siapapun termasuk kedua orangtua dan saudara-saudaraku.
Entah pengaruh setan dari mana, suatu waktu tepatnya Bulan Oktober 2003 aku sempatkan diri berkunjung ke rumah teman lamaku sewaktu kami sama-sama di SMA dulu. Sebut saja namanya Azis. Dia baru saja pulang dari Kalimantan bersama dengan istrinya, yang belakangan aku ketahui kalau istrinya itu adalah anak majikannya sewaktu dia bekerja di salah satu perusahaan swasta di sana. Mereka juga melangsungkan perkawinan bukan atas dasar saling mencintai, melainkan atas dasar jasa dan balas budi.
Sekitar pukul 17.00 sore, aku sudah tiba di rumah Azis dengan naik ojek yang jaraknya sekitar 1 km dari rumah kontrakan kami. Merekapun masih tinggal di rumah kontrakan, namun agak besar dibanding rumah yang kami kontrak. Maklum mereka sedikit membawa modal dengan harapan membuka usaha baru di kota Kabupaten kami. Setelah mengamati tanda-tanda yang telah diberitahukan Azis ketika kami ketemu di pasar sentral kota kami, aku yakin tidak salah lagi, lalu aku masuk mendekati pintu rumah itu, ternyata dalam keadaan tertutup.
"Dog.. Dog.. Dog.. Permisi ada orang di rumah" kalimat penghormatan yang aku ucapkan selama 3 kali berturut-turut sambil mengetuk-ngetuk pintunya, namun tetap tidak ada jawaban dari dalam. aku lalu mencoba mendorong dari luar, ternyata pintunya terkunci dari dalam, sehingga aku yakin pasti ada orang di dalam rumah itu. Hanya saja aku masih ragu apakah rumah yang aku ketuk pintunya itu betul adalah rumah Azis atau bukan. aku tetap berusaha untuk memastikannya. Setelah duduk sejenak di atas kursi yang ada di depan pintu, aku coba lagi ketuk-ketuk pintunya, namun tetap tidak ada tanda-tanda jawaban dari dalam. Akhirnya aku putuskan untuk mencoba mengintip dari samping rumah. Melalui sela-sela jendela di samping rumahnya itu, aku sekilas melihat ada kilatan cahaya dalam ruangan tamu, tapi aku belum mengetahui dari mana sumber kilatan cahaya itu. aku lalu bergeser ke jendela yang satunya dan ternyata aku sempat menyaksikan sepotong tubuh tergeletak tanpa busana dari sebatas pinggul sampai ujung kaki. Entah potongan tubuh laki-laki atau wanita, tapi tampak putih mulus seperti kulit wanita.
Dalam keadaan biji mataku tetap kujepitkan pada sela jendela itu untuk melihat lebih jelas lagi keadaan dalam rumah itu, dibenak aku muncul tanda tanya apa itu tubuh istrinya Azis atau Azis sendiri atau orang lain. Apa orang itu tertidur pula sehingga tersingkap busananya atau memang sengaja telanjang bulat. Apa ia sedang menyaksikan acara TV atau sedang memutar VCD porno, sebab sedikit terdengar ada suara TV seolah film yang diputar. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang selalu mengganggu pikiranku sampai akhirnya aku kembali ke depan pintu semula dan mencoba mengetuknya kembali. Namun baru saja sekali aku ketuk, pintunya tiba-tiba terbuka lebar, sehingga aku sedikit kaget dan lebih kaget lagi setelah menyaksikan bahwa yang berdiri di depan pintu adalah seorang wanita muda dan cantik dengan pakaian sedikit terbuka karena tubuhnya hanya ditutupi kain sarung. Itupun hanya bagian bawahnya saja.
"Selamat siang," kembali aku ulangi kalimat penghormatan itu.
"Ya, siang," jawabnya sambil menatap wajah aku seolah malu, takut dan kaget.
"Dari mana Pak dan cari siapa," tanya wanita itu.
"Maaf dik, numpang tanya, apa betul ini rumah Azis," tanya aku.
"Betul sekali pak, dari mana yah?" tanya wanita itu lemah lembut.
"aku tinggal tidak jauh dari sini dik, aku ingin ketemu Azis. Beliau adalah teman lama aku sewaktu kami sama-sama duduk di SMA dulu," lanjut aku sambil menyodorkan tangan aku untuk menyalaminya. Wanita itu mebalasnya dan tangannya terasa lembut sekali namun sedikit hangat.
"Oh, yah, syukur kalau begitu. Ternyata ia punya teman lama di sini dan ia tak pernah ceritakan padaku," ucapannya sambil mempersilahkanku masuk. akupun langsung duduk di atas kursi plastik yang ada di ruang tamunya sambil memperhatikan keadaan dalam rumah itu, termasuk letak tempat tidur dan TVnya guna mencocokkan dugaanku sewaktu mengintip tadi
Setelah aku duduk, aku berniat menanyakan hubungannya dengan Azis, tapi ia nampak buru-buru masuk ke dalam, entah ia mau berpakaian atau mengambil suatu hidangan. Hanya berselang beberapa saat, wanita itu sudah keluar kembali dalam keadaan berpakaian setelah tadinya tidak memakai baju, bahkan ia membawa secangkir kopi dan kue lalu diletakkan di atas meja lalu mempersilahkanku mencicipinya sambil tersenyum.
"Maaf dik, kalau boleh aku tanya, apa adik ini saudara dengan Azis?" tanyaku penuh kekhawatiran kalau-kalau ia tersinggung, meskipun aku sejak tadi menduga kalau wanita itu adalah istri Azis.
"aku kebetulan istrinya pak. Sejak 3 tahun lalu aku melangsungkan pernikahan di Kalimantan, namun Tuhan belum mengaruniai seorang anak," jawabnya dengan jujur, bahkan sempat ia cerita panjang lebar mengenai latar belakang perkawinannya, asal usulnya dan tujuannya ke Kota ini.
Setelah aku menyimak ulasannya mengenai dirinya dan kehidupannya bersama Azis, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa wanita itu adalah suku di Kalimantan yang asal usul keturunannya juga berasal dari suku di Sulawesi. Ia kawin dengan Azis atas dasar jasa-jasa dan budi baik mereka tanpa didasari rasa cinta dan kasih akung yang mendalam, seperti halnya yang menimpa keluarga aku. Ia tetap berusaha dan berjuang untuk menggali nilai-nilai cinta yang ada pada mereka berdua siapa tahu kelak bisa dibangun. Anehnya, meskipun kami baru ketemu, namun ia seolah ingin membeberkan segala keadaan hidup yang dialaminya bersama suami selama ini, bahkan terkesan kami akrab sekali, saling menukar pengalaman rahasia rumah tangga tanpa ada yang kami tutup-tupi. Lebih heran lagi, selaku orang pendiam dan kurang pergaulan, aku justru seolah menemukan diriku yang sebenarnya di rumah itu. Karena senang, bahagia dan asyiknya perbincangan kami berdua, sampai-sampai aku hampir lupa menanyakan ke mana suaminya saat ini. Setelah kami saling memahami kepribadian, maka akhirnya akupun menanyakan Azis (suaminya itu).
"Oh yah, hampir lupa, ke mana Azis sekarang ini, kok dari tadi tidak kelihatan?" tanyaku sambil menyelidiki semua sudut rumah itu.
"Kebetulan ia pulang kampung untuk mengambil beras dari hasil panen orangtuanya tadi pagi, tapi katanya ia tidak bermalam kok, mungkin sebentar lagi ia datang. Tunggu saja sebentar," jawabnya seolah tidak menghendaki aku pulang dengan cepat hanya karena Azis tidak di rumah.
"Kalau ke kampung biasanya jam berapa tiba di sini," tanyaku lebih lanjut.
"Sekitar jam 8.00 atau 9.00 malam," jawabnya sambil menoleh ke jam dinding yang tergantung dalam ruangan itu. Padahal saat ini tanpa terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 7.00 malam.
Tak lama setelah itu, ia nampaknya buru-buru masuk ke ruang dapur, mungkin ia mau menyiapkan makan malam, tapi aku teriak dari luar kalau aku baru saja makan di rumah dan melarangnya ia repot-repot menyiapkan makan malam. Tapi ia tetap menyalakan kompornya lalu memasak seolah tak menginginkan aku kembali dengan cepat. Tak lama sesudah itu, iapun kembali duduk di depan aku melanjutkan perbincangannya. akupun tak kehabisan bahan untuk menemaninya. Mulai dari soal-soal pengalaman kami di kampung sewaktu kecil hingga soal rumah tangga kami masing-masing.
Karena nampaknya kami saling terbuka, maka akupun berani menanyakan tentang apa yang dikerjakannya tadi, sampai lama sekali baru dibukakan pintu tanpa aku beritahu kalau aku mengintipnya tadi dari selah jendela. Kadang ia menatapku lalu tersenyum seolah ada sesuatu berita gembira yang ingin disampaikan padaku.
"Jadi bapak ini lama mengetuk pintu dan menunggu di luar tadi?" tanyanya sambil tertawa.
"Sekitar 30 menit barangkali, bahkan hampir aku pulang, tapi untung aku coba kembali mengetuk pintunya dengan keras," jawabku terus terang.
"Ha.. Ha.. Ha.. aku ketiduran sewaktu nonton acara TV tadi," katanya dengan jujur sambil tertawa terbahak-bahak.
"Tapi bapak tidak sampai mengintip di samping rumah kan? Maklum kalau aku tertidur biasanya terbuka pakaianku tanpa terasa," tanyanya seolah mencurigaiku tadi. Dalam hati aku jangan-jangan ia sempat melihat dan merasa diintip tadi, tapi aku tidak boleh bertingkah yang mencurigakan.
"Ti.. Ti.. Dak mungkin aku lakukan itu dik, tapi emangnya kalau aku ngintip kenapa?" kataku terbata-bata, maklum aku tidak biasa bohong.
"Tidak masalah, cuma itu tadi, aku kalau tidur jarang pakai busana, terasa panas. Tapi perasaan aku mengatakan kalau ada orang tadi yang mengintipku lewat jendela sewaktu aku tidur. Makanya aku terbangun bersamaan dengan ketukan pintu bapak tadi," ulasnya curiga namun tetap ia ketawa-ketawa sambil memandangiku.
"M.. Mmaaf dik, sejujurnya aku sempat mengintip lewat sela jendela tadi berhubung aku terlalu lama mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban. Jadi aku mengintip hanya untuk memastikan apa ada atau tidak ada orang di dalam tadi. aku tidak punya maksud apa-apa," kataku dengan jujur, siapa tahu ia betul melihatku tadi, aku bisa dikatakan pembohong.
"Jadi apa yang bapak lihat tadi sewaktu mengintip ke dalam? Apa bapak sempat melihatku di atas tempat tidur dengan telanjang bulat?" tanyanya penuh selidik, meskipun ia masih tetap senyum-senyum.
"aku tidak sempat melihat apa-apa di dalam kecuali hanya kilatan cahaya TV dan sepotong kaki," tegasku sekali lagi dengan terus terang.
"Tidak apa-apa, aku percaya ucapan bapak saja. Lagi pula sekiranya bapak melihatku dalam keadaan tanpa busana, bapak pasti tidak heran, dan bukan soal baru bagi bapak, karena apa yang ada dalam tubuh aku tentu sama dengan milik istri bapak, yah khan?" ulasnya penuh canda. Lalu ia berlari kecil masuk ke ruang dapur untuk memastikan apa nasi yang dimasaknya sudah matang atau belum.
Demikianlah Artikel Cerita Sex Dewasa Ngentot Dengan Istri Orang di Rantau
Sekian Kisah seks Cerita Sex Dewasa Ngentot Dengan Istri Orang di Rantau, mudah-mudahan bisa menghilangkan stres untuk sobat semua. baiklah, sekian postingan Cerita Sex kali ini.
Terimakasih sobat sudah membaca kisah Cerita Sex Dewasa Ngentot Dengan Istri Orang di Rantau dan artikel ini url permalinknya adalah https://grahakitasex.blogspot.com/2016/05/cerita-sex-dewasa-ngentot-dengan-istri-orang-di-rantau.html Semoga artikel ini bisa menghibur. Cerita Seks ABG, Cerita Seks Abnormal, Cerita Seks Artis, Cerita Seks Bersambung, Cerita Seks Daun Muda, Cerita Seks Janda, Cerita seks Jilbab, Cerita Seks Karyawan, Cerita Seks Pelajar, Cerita Seks Pembantu, Cerita Seks Perawan, Cerita Seks Perkosaan, Cerita Seks Sedarah, Cerita Seks Selingkuh, Cerita Seks Sesama Jenis, Cerita Seks Tante Girang, Cerita Seks Spg, Cerita Seks Sekretaris, Cerita Seks Threesome, Cerita Seks Gigolo, Cerita Seks Guru, Cerita Seks Lesbi, Cerita Seks Mahasiswi, Cerita Seks Paruh Baya, Cerita Seks Pribadi, Cerita Seks PSK, Cerita Seks Sahabat, Cerita Seks Tukar Pasangan